Lifting dan DBH Migas

Riauberantas, Pekanbaru – Surprise sekali menyimak video dari Youtube yg dikirimkan seorang jurnalis, tentang seorang Kepala Daerah yg ngamuk-ngamuk di sebuah forum tingkat Nasional. Sang Bupati sampai berani bilang mau angkat senjata dan minta berpisah dengan NKRI gegara transfer daerah terkait Dana Bagi Hasil Migas yg dinilai tidak proporsional. Aduh, ini serius sekali saya fikir.

Walhasil setelah menyimak video tersebut secara cermat, ternyata substansi persoalannya sangat mendasar yaitu urusan DBH dan kaitannya dengan kemiskinan ekstrim masyarakat di wilayahnya.

Tegas dan lugasnya sang Bupati ini luar biasa, sayangnya pada hal-hal teknis detil sang Bupati sepertinya tak paham betul tentang apa yang disampaikan. Entah siapa pula juru fikirnya, tapi yg jelas beliau ini belum bisa membedakan antara angka Lifting dengan angka Produksi serta membedakan asumsi APBN dan dinamika ICP (Indonesian Crude Price) karenanya masih harus belajar dan mendalami lagi tentang monetisasi migas pada skala operasional dan realitas periode penghitungan Lifting sebelum bicara.

Tapi sebelumnya ada beberapa Going Voncern yang harus dipahami dahulu.

Pertama, perlu dipahami pengelolaan migas sesuai UUD 1945 pasal 33 merupakan kewenangan negara. Suka tidak suka, ‘Mining Right’ alias hak dan kuasa penambangan masih merupakan kewenangan pemerintah pusat, tidak ada hak Gubernur apalagi Bupati untuk melarang operasional kegiatan Hulu Migas di daerah.

Kedua, pahami secàra seksama perbedan antara angka Lifting migas dan angka Produksi migas. Supaya tidak salah omong.

Ketiga, agar dapat membedakan asumsi harga minyak dalam APBN dan konsep ICP (Indonesian Crude Price) yg merupakan dasar perhitungan DBH yg sangat variatif dan dinamis yg menjadi dasar perhitungan angka Lifting oleh Kemen ESDM agar tidak salah hitung

Banyak dan sering orang bertanya mengenai pengertian istilah lifting dan produksi dalam industri hulu migas di Indonesia. Karena istilah lifting yang diterapkan di industri hulu migas Indonesia, sedikit berbeda dengan istilah umum industri migas internasional. Di kalangan profesional migas jika bertemu dalam suatu forum, biasanya berbasa basi dengan pertanyaan yang umum ditanya, yaitu berapa produksi lapangannya? Karena produksi adalah salah satu ukuran kebesaran dan wibawa lapangan migas, dan berkaitan dengan teknis kondisi bawah permukaan.

Sehingga jika mendapat informasi sebuah KKKS migas intensif melakukan pemboran yg berbanding lurus dgn peningkatan produksi, itu sebuah kabar baik. Namun tidak serta merta angka produksi tsb akan menjadi dasar perhitungan Lifting.

Hmmm….Belanda masih jauh bro.

Istilah lifting dalam industri hulu migas di Indonesia sangat melekat terhadap pemasukan negara atau “goverment take” bagi hasil migas. Tidak jarang istilah lifting dan produksi migas membingungkan, kadang kadang angka produksi tidak mencerminkan angka pemasukan negara. Karena memang tempat produksi dan tempat lifting biasanya jauh berbeda dari produksi menjadi lifting, membutuhkan proses teknis dan banyak non teknisnya juga.

Istilah lifting mulai dikenal mungkin sekitar tahun 2013-an dalam upaya mengoptimalkan pemasukan negara sektor migas. Lifting minyak dan gas bumi (migas) menjadi tolak ukur utama kinerja industri hulu migas karena langsung mempengaruhi penerimaan negara. Tapi angka lifting belum tentu mencerminkan kinerja lapangan/reservoir atau produksi.

Setelah terangkat ke permukaan, migas akan melewati sebuah proses pemisahan antara minyak, gas, dan air. Minyak kemudian dikumpulkan di sebuah tempat penampungan (storage) dan disebut sebagai angka Produksi. Setelah minyak dipompakan sampai ke titik serah atau “point of delivery” dan siap jual disebut sebagai Lifting.
Konsep lifting adalah produksi siap jual atau sudah berada di atas Kapal ataupun kilang minyak. Dari lifting inilah penghitungan bagi hasil antara pemerintah Indonesia dengan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) dilakukan.

Angka lifting tersebut lalu dikalikan dengan patokan harga minyak Indonesia yang disebut Indonesian Crude Price (ICP) atau harga minyak mentah Indonesia yg ditetapkan oleh Pemerintah cq Kemen ESDM, sebagai salah satu pemasukan negara bidang migas. Dan ICP sangat variatif dan dinamis dari waktu kewaktu.

Karena lifting melekat pada pemasukan negara maka perlu dilakukan optimalisasi pengawasan yang dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu SKK Migas, kontraktor migas (KKKS) dan pembeli. Khusus untuk minyak yang diekspor, petugas bea dan cukai juga turut mengawasi. Untuk lifting melalui kapal tanker, pengawasan dilakukan pada setiap pengapalan di terminal. Sedangkan pengawasan lifting melalui pipa dilakukan setiap akhir bulan pukul 24.00 di titik penyerahan. Mengawasi dan menyaksikan pengukuran, suhu, dan pengambilan contoh migas, menyaksikan pelaksanaan analisis contoh migas, serta menyaksikan pengujian sistem alat ukur. Memang angka lifting dan produksi sering berbeda karena titik pengukurannya berbeda.

Produksi yang telah dikumpulkan pada tangki tangki stasiun pengumpul belum tentu bisa dikirim atau dipompakan seluruhnya pada saat bersamaan, karena keterbatasan fasilitas produksi dll, atau terjadi penyusutan produksi saat pengiriman, penguapan, kebocoran karena pipa produksi sudah tua atau karena pencurian atau “illegal tapping”. Bahkan pada sumur atau lapangan yang produksinya kecil agar efisien harus menunggu waktu berhari hari untuk mengumpulkan minyaknya, baru kemudian dikirim ke titik serah.

Dengan demikian maka, perusahan migas walaupun produksi minyaknya besar tetapi, jika tidak mampu menunjukkan kinerja liftingnya maka tidak akan menghasilkan pendapatan jatah bagi hasil maupun cost recovery.

Di sinilah sepertinya misinterpretasi tersebut terjadi. Persepsi bahwa angka produksi KKKS yg entah dapat dimana langsung diformulasikan sebagai dasar penghitungan DBH. Mestinya yg menjadi dasar penghitungan adalah angka Lifting. Yaitu minyak mentah alias crude yg sudah di titik-serah dan sudah dijual kepada buyers alias pembeli. Sederhana nya, minyaknya udah jadi duit, baru dihitung oleh Kementerian ESDM dan Keuangan dan dibagi2 melalui transfer daerah.

Bukankah secara perodik ada semacam rapat rekonsiliasi yg ditaja oleh Dinas ESDM Provinsi dengan mengundang Kabupaten/Kota penghasil?

Dengan semangat berkobar sang Bupati sampai mau angkat senjata demi dan untuk menuntaskan kemiskinan ekstrim di daerahnya, mestinya dengan kondisi APBD yg terbatas fokuslah dgn program pro rakyat. Sementara tahan dulu nafsu untuk membangun Istana dan gedung baru, tahan dulu program hibah yg tidak produktif. Mudah2an kemiskinan ekstrim tersebut dapat segera dituntaskan.

Teruslah berteriak demi rakyat, tapi tetap jaga adab dan etika.

Jika memang ada hal² yg belum memuaskan masih tersedia ruang-ruang diskusi.

Tabik !

Pekanbaru 10 Desember 2022
Irvan Nasir